DR Cahyo, Goa, dan Karang Taruna

Goa Jomblang. ©2014 merdeka.com/chandrasary

Dilansir dari merdeka.com - Sambil menunggu kemacetan Lebaran di jalur Selatan reda, kami memilih bertahan di Yogya ketimbang berangkat Jakarta. Waktu yang ada, dimanfaatkan jalan-jalan ke Goa Jomblang, obyek wisata bertema eco-tourism yang masih natural, terletak di Semanu, Wonosari, Gunung Kidul, DI Yogya.

Informasi Goa Jomblang didapat dari sopir mobil rental yang melayani kami. Segera kami kontak pengelola bernama Cahyo Alkantana. Dia memandu kami, mengecek arah jalan menuju lokasi, dan memastikan penjemputan, dengan memakai HP.

Kenapa saya mesti menulis ini sebagai bagian kolom inspira, karena sampai seminggu, istri dan sepasang ananda masih terkesan, merasa exciting dan masih ingin kembali ke Goa Jomblang lagi.

Goa Jomblang adalah gowa vertikal. Ada dua goa vertikal, sebelahnya Goa Grubug. Yang dimaksud vertikal, adalah goa dari atas ke bawah yang masuknya tidak dengan jalan kaki tapi dilepas dari atas ke bawah memakai tali bergelantungan dibantu petugas. Kedalaman dari permukaan bumi ke dalam goa sekitar 60 m.  Setara gedung pencakar langit ibukota. Waw.

Sedangkan jarak horisontal antara Goa Jomblang dan Grubug 100 meter, dihubungkan lorong yang bisa dilalui jalan kaki dan sebagian ada stalaktit-stalakmit. Lorong gelap inilah yang menjadi tempat menantang, karena dari situ akan bisa merasakan suasana kontras, masuknya sinar matahari dari luweng (lobang) penangkap sinar yang terhalang dedaunan pohon di atas. Sinar ini kerap disebut sinar sorga yang paling ditunggu, dan hanya muncul optimal pada pukul 11.00 sd 13.00 siang dengan syarat, tidak sedang ketutup awan.

Untuk menuju lorong dan mendapatkan efek sinar sorga itu, pengunjung harus memakai sepatu, topi proyek, diikat tambang,  dan topi lengkap kemudian menuruni gowa sedalam 60 meter. Untuk turun akan diikatkan tali ke tubuh dan dibantu menahan tali oleh sekitar 5-8 orang. Begitu juga setelah menyusuri lorong goa gelap dan mendapat efek sinar sorga, untuk naiknya pengunjung akan ditarik oleh sekitar 8 orang memakai tambang yang sudah aman

Total waktu yang dibutuhkan untuk wisata ini, sekitar 2,5 jam.

Jangan bayangkan untuk wisata ini Anda hanya jalan-jalan memotret dan melihat-lihat pemandangan atau obyek wisata seperti biasanya, misal lihat candi atau bangunan fisik. Tapi, di sini konsep eco-tourism ini menawarkan experience yang menantang. Alam yang murni, hijau, dan masih ada belalang, ular, dan kadang kelelawar menjadi bagian yang menggairahkan. Kita tidak boleh mengganggu hewan penghuni itu.

Orang yang memandu kami dengan sabar memakai HP, bernama Cahyo Alkantana (foto bawah) adalah pemilik Gowa Jomblang itu. Dia bukan orang sembarangan ternyata. Dia adalah doktor (S3) kelautan, master (S2) teknik lingkungan, dan sarjana (S1) arsitektur. Doktor dan master diraih di inggris, gratis alias beasiswa.

"Sudah 30 tahun lalu saya mengetahui goa itu, dan baru beberapa tahun saya kembangkan menjadi wisata lingkungan yang menantang," kata Cahyo. Dalam mengelola, dia melibatkan 15 orang karyawan tetap dan 50-an freelance yang tergantung ramainya pengunjung. "Semua yang bekerja adalah penduduk setempat dan karang taruna," katanya.

Kecuali itu dia pernah mengembangkan tampat-tempat wisata Raja Ampat di Papua, Wakatobi – Sulawesi, Goa Pindul, Goa Kalisuci, dan lain-lain.  Pernah jadi kontributor Nat Geo, Discovery, dan memiliki PH Indonesia Explorer.

Dia adalah warga Yogya asli, yang selepas lulus S1 arsitektur Universitas Atmajaya Jogja, mendapat kesempatan ikut ekspidisi Wallace selama 3 tahun. Ikut ekspidisi internasional inilah yang membuka mata hati Cahyo betapa kayanya Indonesia. Dia pun punya banyak rencana besar, termasuk dengan harus mengejar S2-S3-nya di Inggris itu, bagian dari skenario hidupnya.

Kepakarannya di bidang lingkungan, bidang goa (cave), dan juga filmografi (dasar fotografi arsitektur), membuat dia selalu bermakna di banyak pergaulan. Maka, dia pun dikenal di dunia, dan sering terlibat ekspedisi dunia, di Eropa dan Antartika pernah dilakoni.

Bahkan, dia pun akhirnya hinggap tinggal dan menetap di Prancis, di kawasan Gramat. Nah, saat di Gramat ini, tak jauh dari tempat tinggalnya ada Goa Padirac yang sejenis dengan Jomblang, maka sejak itu hatinya meletup-letup untuk segera pulang ke Gunung Kidul.

Begitu pulang, dia kembali ke Goa Jomblang, langsung dibelinya dengan merogoh kocek sekitar Rp 3 miliar yang ditabungnya dari kerja ekspedisi, peneliti, dan pembuatan film dokumentasi wisata alam.

Dia sulap Goa Jomblang dan Grubug yang tak terurus sama sekali itu, menjadi wisata alam yang menantang dan menarik. Dia juga tambahkan resort dekat lokasi goa. Buat mereka yang kemarin "gagal" dapat sinar sorga karena cuaca. Untuk mengelolanya, Cahyo melibatkan sekitar 50 sd 70 warga dari karang taruna setempat.

Dengan demikian, warga menjadi hidup, berpenghasilan, sekaligus menghambat perpindahan pemuda meninggalkan Gunung Kidul mencari nafkah ke Jakarta. Saat ini, warga yang kata Cahyo dulu masih banyak yang tak berbaju, rumah berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, sekarang sudah mulai membaik kehidupannya. "Kita bertanggung jawab pada masa depan mereka," katanya. Dan, satu hal, tidak semua gunung di Gunung Kidul pantas cuma diambil batu kapurnya, tapi banyak harta terpendam yang bisa dikembangkan bernilai ekonomis.

Dalam mengelolanya, semula Cahyo ingin mencari investor dan juga mengajak pemerintah untuk mengelola dengan benar. Tapi, tak ada satupun investor yang percaya dengannya. Bahkan ketika disampaikan ke pemerintah, juga tidak tertarik untuk mengembangkannya dengan berbagai alasan.

Namun, visi, kreativitas, hobi, passion, dan hati-lah yang membuat semuanya terwujud. Kini, Cahyo secara tak langsung menyelamatkan gunung-gunung yang cenderung dirusak karena dijual kapurnya. Menurutnya banyak yang tidak mengerti, bahwa Gunung Kidul punya potensi wisata luar biasa. Indonesia, menurut dia, harusnya pendapatan wisatanya lebih besar dari seluruh negara di Asean.

"Negeri kita indah sekali. Potensi wisatanya luar biasa. Belum digali," katanya. Kini Cahyo sedang merancang wisata di bawah laut yang aman dan bikin enjoy. Sebab orang bilang gunung itu beautiful tapi bawah laut (menyelam) itu wonderful.

Ketika ditanyakan apakah tidak tertarik jadi menteri atau kepala daerah, dengan santai dia bilang tidak, "itu bukan solusi," katanya. Diakuinya dirinya pernah diminta warga dan partai untuk jadi pemimpin daerah Gunung Kidul. Karena yakin itu bukan tujuan dan solusi, maka ditolak.

Kembali ke Indonesia, ke desa dia bertekad meningkatkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Itulah adalah impiannya. Agar tidak semua mikir jadi TKI. 

Bagi Cahyo, tanpa jabatan pun kalau memang mau membangun masyarakat Indonesia, tetap bisa dilakukan. Dan, Cahyo sudah membuktikan, malang melintang di luar negeri, sudah hidup berkecukupan, pikirannya tetap kembali ke desanya membangun sesuatu di Gunung Kidul. Dia selalu siap membantu Indonesia untuk meningkatkan pariwisata. *** [tts]


Sumber : https://www.merdeka.com/khas/dr-cahyo-goa-dan-karang-taruna-kolom-inspira.html



Post a Comment

Lebih baru Lebih lama